Rabu, 18 Desember 2013

IDE AKHIR TAHUN

Akhir tahun 2013, saya mengajukan ide untuk natal pada sebuah fakultas psikologi di universitas nommensen, medan. Ide ini adalah turunan dari tema natal yang ada pada saat itu. Saya memakai meminta kerjasama mahasiswa, membeli peralatan sendiri (memang sudah niat beli untuk diri sendiri), dan merekam beberapa skenario. Berikut hasil editing versi saya. (versi yang ditayangkan di perayaan natal, dibuat oleh salah satu mahasiswa)


Credit title untuk video ini adalah
Producer : Hotpascaman
Director  : Rinesha
Co-Director : Josephine
Direcor of photography and cameraman : Monalisa

Talent : Dekan, Wakil dekan 3, Staff, perwakilan mahasiswa

Dan berikut ini adalah sedikit cuplikan behind the scene




Kamis, 28 November 2013

Krimininalisasi dokter? atau kriminalnya para dokter? saya masih bertanya.



Cerita kasus profesi "3 dokter"  di indonesia pada bulan november 2013 ini menjadi sesuatu yang hits untuk dibicarakan. Ada yang cukup menggelitik, yaitu antara SOP (Standart Of Procedure) dan NYAwA. Ya saya tidak membahas kedua hal itu. Yang saya bahas adalah: Sejak kapan ya ada kata kriminalisasi dilakukan oleh masyarakat untuk dokter?
Definisi kriminalisasi apa yang dipakai ?? apakah ketika suatu pihak melakukan tuntutan ke dalam sebuah pengadilan itu termasuk tindakan kriminal?. Saya bingung itu saja.

Keanehan terjadi adalah selama ini kasus di indonesia di dunia medis, kebanyakan mengatakan adanya malpraktik. Benar, bahwasanya masyarakat sudah menurunkan level kepercayaannya pada semua profesi tenaga medis. Kembali.. apakah defenisi kriminal disni adanya ketidak percayaan dari masyarakat untuk memberikan sedikit harapan pada tangan2 ahli dari tenaga medis?
Dan bagi mereka yang pada hari 27 november 2013 ini bertindak melakukan demo damai menuntut penghapusan kriminalisasi, mengapa pada kasus-kasus yang mencoreng nama profesi mereka oleh segelintir orang, tidak melakukan aksi yang menuntut adanya pengawasan ketat untuk setiap penanganan yang dilakukan oleh profesi mereka? Dan lagi-lagi saya masih bertanya apakah dengan meninggalkan tuntutan pekerjaan yaitu melayani kebutuhan praktik medis di beberapa rumah sakit, PADA HARI RABU 27 NOVEMBER 2013 itu tidak termasuk tindakan kriminal pada calon pasien?

PROFESI MEDIS MEMANG PROFESI YANG MULIA. HANYA BERHARAP SETIAP ORANG YANG MENDEDIKASIKAN HIDUPNYA PADA PROFESI INI, DALAM KONDISI APAPUN SELAYAKNYA BERORIENTASI PADA KEBUTUHAN PELAYANAN KESEHATAN YANG OPTIMAL PADA MASYARAKAT.

Rabu, 20 November 2013

Siapa yang berpotensi salah?

Seorang anak diminta untuk membuang pampers ke tempat lahan kosong dimana orang-orang sering buang sampah. Anak tersebut menuruti orangtuanya. Kemudaian, pampers tersebut dilempar, namun tidak jatuh tepat sasara di lahan kosong tersebut, melainkan ke lahan rumah yang berada tepat di samping lahan kosong tersebut. Sore harinya, pemilik rumah menemukan sampah tersebut kemudian membuangnya ke tempat sampah, dan keesokan harinya seorang anak yang melakukan perilaku buang sampah sembarangan mendatangi pemilik rumah. Kemudian dengan polosnya dia meminta ijin untuk mengambil sampah yang telah ia buang tersebut. Sementara si pemilik mendengarkan perkataan si anak untuk meminta ijin, seorang ibu yang sedang menjemur kain berceloteh dengan cukup keras : "kemarin dia buang sampah tapi kayaknya salah tempat...suruh aja dia mengambil..". Si pemilik rumah melihat si ibu dengan tatapan sinis, dan kemudian merespon si anak : "sudah..sudah dibuang ke tempat sampah kok". Si ibu mendengar jawaban singkat pemilik tersebut, kembali berceloteh. Si pemilik yang sudah kesal di awal tidak menghiraukan dan memilih cuma menjawab " ya... ya..." kemudian mempersilahkan si anak untuk kembali ke rumahnya.

Untukmu yang membaca ini, ini adalah situasi yang cukup pelik. Anak dalam hal ini sudah melaksanakan tugasnya untuk mematuhi dan menghargai perintah orang tua, namun bagaimana dengan orangtuanya?? Semoga tidak ada sifat orangtua seperti ini lagi.

Sabtu, 26 Oktober 2013

ada yang bertanya, saya mencoba menjawab

ada yang bertanya, saya mencoba menjawab
Apa yang menjadi perbedaan pembelajaran mahasiswa di universitas negeri dan swasta?
Jawaban berikut hanya berdasarkan pengalaman yang dilalui oleh saya. Dan saya kuliah s1 di USU (negeri), dan saat ini saya punya kesempatan sementara untuk memberikan didikan pada mahasiswa di universitas swasta.

Sesaat saya di negeri, saya diharuskan, ya diharuskan (atas dasar filosofis seorang mahasiswa), lebih aktif untuk mencari dan dibebani serangkaian tugas. Sebagai contoh satu mata kuliah diawal kontrak perkuliahan dijejai dengan buku-buku untuk cari sendiri, dan saya terbantu dengan adanya teman-teman serta kakak kelas yang memiliki inisiatif untuk meng-copykan buku. Kemudian, tugas dari satu mata kuliah itu biasanya ada tugas sebelum mid dan setelah mid, baik individu dan kelompok untuk presentasi. Sehingga bisa dipastikan untuk satu mata kuliah ada 4 tugas, diluar kuis, dan kewajiban membaca materi sebelum masuk kelas (terutama pada dosen yang terkesan dengan istilah populer "killer"). Di negeri yang saya alami tidak ada namanya ujian perbaikan di akhir masa kuliah, tidak ada namanya semester pendek, serta tidak ada tugas untuk perbaikan nilai pada akhir ujian uas tiap semesternya. Saya dibiasakan untuk membaca materi berbahasa inggris, dan fungsi dosen (tenaga pendidik) umumnya hanya sebagai fasilitator saja tidak memberikan penuh semua materi (ya meskipun ada beberapa dosen yang mau memberikan materi a- z, terutama dosen faal). Itulah pengalaman saya dahulu. Saya tidak mengetahui dan tidak mengikuti perkembangan proses pembelajaran yang terjadi di tempat saya sekolah sarjana dahulu.

Nah saat ini saya diberikan kesempatan untuk sementara dalam memberikan materi ajar. Beberapa perilaku yang telah saya amati pada mahasiswa (katakanlah bukan negeri), adanya perilaku terkesan menjauhi materi bahasa inggris, datang ke kelas dengan modal kertas dan pena (tanpa buku, hanya bawa diri sndiri pun ada), perilaku guyon yang bersambut, perilaku hening saat ditanya, dan lainnya. Saya sempat berpikir (mungkin ini adalah pemikiran yang pernah didiskuskan oleh ahli2 pendidik ), apakah ini sebagian dampak dari adanya sebuah program semester pendek (program dimana mahasiswa dapat mengulang materi kuliah dengan memiliki basis nilai C/D/E, pada satu bulan penuh dari yang seharusnya 6bulan / 1 semester), program ujian perbaikan nilai (program perbaikan nilai maksimal sejumlah satuan kredit tertentu, pada akhir masa kuliah tingkat akhir), ?? saya juga sempat berpikir sesuatu yang terkesan negatif, apakah ujian saringan masuk perguruan tinggi negeri benar-benar menyisakan orang-orang yang belum memenuhi standar PTN itu sendiri?? padahal sekarang banyak PTS yang lebih berprestasi daripada PTN.



Buatmu yang masih berstatus mahasiswa, di perguruan tinggi manapun dengan status apapun. Mari mencoba mencari cara kreatif tersendiri namun positif untuk memahami semua materi yang mungkin diterima saat belajar di kelas :)

Kamis, 10 Oktober 2013

REALITA LAINNYA

Hari ini 10 oktober 2013, saya melakukan kunjungan ke sebuah sekolah luar biasa di medan.
loh ngapain? ya saya merasakan ada banyak laci yang kosong serta usang yang ada di otak saya.
kenapa begitu? ya saya memang sudah menempuh sekolah ke dua di perguruan tinggi.
mayor saya adalah mendalami profesi Psikolog Industri dan Organisasi
minor saya adalah mendalami Area psikologi klinis.

Yes, I GOT THE CASE ON MY MAJOR. (pergi ke cengkareng, menjadi perintis magang mewakili Fakultas dan Universitas di salah satu anak perusahaan Garuda - Garuda Maintenance Facilities atau
dikenal GMF-Aeroasia)
BUT!!! I GOT NOTHING MORE THAN PAPER CASE and CLASS STAGE PRACTICAL on MY MINOR.

jadi intinya saya merasakan ada yang kosong. Saya banyak belajar cara assessmen dan terapi klinis.
Tapi saya belum punya kesempatan untuk menerapkannya. Apalah saya ini, masa cuma jadi tempat curhat saja? masa hanya beri solusi logic? where is the "REAL ACT"?

Sehingga, saya memutuskan untuk melihat langsung, little part of Clinical Psychologist's job on site.
Saya meminta pada kenalan yang menjadi pengajar di sebuah universitas paling bertradisi batak di medan.
Saya diikutkan, dan hari ini saya melihat realita lain  itu.

Saya terbiasa memuaskan rasa ingin tahu saya hanya dari melihat tayangan TV, baca artikel/jurnal dan lihat YOutube, dan
hari ini saya melihat, bersentuhan, berinteraksi verbal dan non verbal secara langsung pada individu dengan patologi (ganguan) down syndrome, patologi Autis, Tuna Grahita, dan mungkin banyak lagi yang secara konsep teoritis saya banyak lupa.

Rasanya adalah... (saat menulis kata selanjutnya dari kalimat ini, saya sangat lama mencari kata yang tepat)
mungkin ada rasa was-was
mungkin ada rasa kecewa
mungkin mau nangis
mungkin mau berontak
dan mungkin lainnya dari sebuah pengalaman baru
YAH.... mungkin ini adalah rasa luapan emosi saya, dan mungkin saja, saya merasa hanya maksimal 5 persen saja terobati.
Bagaimana mungkin SAYA dipanggil PSIKOLOG? jika memang tidak pernah mengalami sebahagian kecil realita ini?







Selasa, 06 Agustus 2013

Sebuah Kondisi Tradisi

"bagaimana pak sejauh ini?"
ini adalah pertanyaan yang diajukan pada saya hari ini. Saya menjawab "ya.... (disambut rekan lain)... lacar pak, minggu ini ada ujian.


Minggu lalu sampai saat ini, saya diperhadapkan dengan situasi untuk memberikan materi tentang suatu topik mata kuliah. Saya mencoba mengikuti kemampuan mahasiswa yang ada.
dan inilah yang menjadi sedikit pengalaman saya:

1. Pada suatu pertemuan saya dikejutkan oleh betapa peserta didik tidak disampaikan beberapa hal yang menjadi hak untuk mereka ketahui. Kemudian saya berpikir apakah mungkin belum tersampaikan atau pihak sebelumnya mencukupkan sampai batasan tertentu, karena melihat kemampuan peserta yang dididik. Atau mungkin peserta didik yang sudah lupa atau punya motif tidak mau tau.

2. Saat peserta didik secara volunter ataupun ditunjuk memberikan contoh penjelasan, saya juga dikejutkan dengan contoh yang sangat kompleks, yang berujung pada gagalnya menjelaskan konsep sederhana. Saya hanya berpendapat bahwa adanya persepsi "bila mampu memberikan sesuatu yang lebih maka dianggap memiliki suatu keunggulan pribadi dari yang lain". Bagi saya persepsi ini selalu menghantui hampir setiap orang. Ya, persepsi ini baik, bila secara sadar mampu, dan tidak melihat respon orang lain (dalam arti membandingkan). Tapi, Persepsi ini tidak baik bila untuk memuaskan ke-aku-an untuk mendapatkan pengakuan.

3.Saat saya menanyakan ulang contoh yang diberikan peserta yang dididik, selalu terjadi keraguan. Saya hanya berpikir bahwa mungkin perlunya penanaman kepercayaan diri oleh tenaga pendidik. Kondisi ini bisa sedikit disentil, diubah tingkat 'zona aman' ketidak pedeannya, mungkin bagi tenaga pendidik mengembalikan semua arti penuh pada sumber yang menjadi acuan, dan berikan peserta didik untuk mencerna kata-kata yang paham secara real time (saat itu juga). Mungkin, terkait dengan no. 2 seharusnya pemberian contoh terdekat dengan peserta didik sebaiknya dikembangkan dahulu lalu naik ke tahapan pola pikir yang lebih kompleks. Mungkin, dengan memberikan kesempatan pada peserta didik untuk tampil 'show' di depan teman-temannya, dimulai dari berdiri sendiri di depan tempat duduknya, kemudian diajak ke depan, kemudian diyakinkan bahwa "Belajar itu memulai dari pengertian salah untuk mencapai pengertian yang benar"

4.  Saat saya memberikan konsekuensi atau akibat untuk suatu tindakan yang telah dari kesepakatan bersama. Terdapat cerita lama yang menegosiasikan konsekuensi. Kondisi ini memang selalu terjadi. Rasa Kasihan, melunturkan peraturan yang telah disepakati bersama. Bukan berbicara demokrasi, bukan berbicara salah satu asal muasal dari KKN. Saya berbicara tentang integritas versus kasihan. Karena Integritas seharusnya seia sekata dari peraturan, perbuatan atau perilaku, sedangkan kasihan berbicara tentang sebuah kelunakan, toleransi yang jauh berbeda arti dengan KASIH. Pada persepsi saya Kasih mampu mendamaikan tapi ia tetap menghajar ketidakadilan.

5. Saat saya bertanya untuk keperluan peserta didik. Saya bingung mengapa selalu terjadi tradisi di tiap "sekolah" yang pernah saya tanyakan seakan-akan peserta didik dibebankan?

Peserta didik dituntut hanya belajar. ya hanya belajar. Belajar dari materi yang disampaikan, mengkolaborasikan dengan kehidupan yang dijalani ataupun langsung menerapkannya. Peserta didik tidak dapat dibebani dengan pemikiran 'berapa rupiah lagi yang saya akan keluarkan' untuk hal tertentu yang menyangkut saat di luar pendidikan. Mari ambil contoh, setiap peserta didik memiliki ketua yang menjadi penghubung dengan orang yang mengambil peran sebagai pendidik. Peserta yang merangkap sebagai ketua tersebut selayaknya tidak dibebani lagi masalah biaya komunikasi, ketersediaan perlengkapan saat proses belajar terjadi.

dan.. bagaimana tenaga pendidik?
saya hanya berpikir, dari sebuah kalimat yang dari dahulu didengar oleh : "untuk memulai perubahan, mulailah dari diri sendiri". Mungkin ini dapat dilakukan dari metode saat berbagi ilmu pada peserta. Mampu membahasakan ilmu kompleks menjadi sedeerhana, atau mungkin pada bahasa yang bisa dimengerti oleh peserta didik. Mampu meningkatkan motivasi peserta didik, yang mungkin dimulai dari iming-iming dorongan luar, yang kemudian dikonversikan menjadi dorongan dari dalam diri individu peserta didik.

Yaah ini mungkin adalah konsep idealis. Mungkin sebaiknya kita berusaha saja, sebaik mungkin, sebia mungkin sampai bila memungkinkan mencapai yang sempurna. Meski, yang sempurna adalah milik Empunya Hidup.

Kamis, 01 Agustus 2013

Kompetensi dan Potensi itu berbeda?

Sedikit bercerita mengenai pengalaman saya saat diajari atau dilatih kata tepatnya
pada sebuah pelatihan assessment centre dan behavioral event interviewer
Saya diajari konsep utama sebagai dasar sebuah proses "audisi" di sebuah perusahaan. Salah satunya adalah
konsep kompetensi dan potensi. Konsep ini sebenarnya sudah sangat familiar, namun saya mendapat gambaran lebih baik
Bahwasanya Kompetensi merupakan semua kemampuan ataupun perilaku yang dibutuhkan saat melakukan suatu tugas tertentu, dan semuanya harus dapat diobservasi
sedangkan potensi adalah semua talenta, sifat, kepribadian yang memiliki kecenderungan, serta bisa jadi dibutuhkan saat melakukan tugas tertentu

Yang menjadi perbedaan utama ialah Kompetensi berbicara tentang "kemampuan" dan hanya bisa
digali dalam sebuah proses yang dinamakan dengan assessment centre.

Sedangkan potensi berbicara tentang "kecenderungan" tak terlihat dan bisa digali dari review
serta tes-tes psikologi

Secara defenisi, saya memandang bahwa assesment centre merupakan sebuah proses/metode yang terdiri
dari berbagai simulasi untuk menggali kompetensi. Biasanya prosesnya minimal tiga simulasi.
Pada setiap simulasi, satu assessee (sebutan individu yg akan diukur/assess) dipegang oleh seorang assessor
(org yg berhak melakukan pengukuran), dan di simulasi berikutnya assessee yang sama dipegang/diukur oleh
assessor kedua, berikutnya pada simulasi ke tiga assesse yang sama di ukur oleh assessor yang ketiga.
Begitu seterusnya bila terdapat lbh dari 3 simulasi maka assessornya juga disesuaikan
Hal ini dilakukan untuk menghindari subjektifitas, kemudian semua assessor punya data sebagai bukti
dalam hal ini baik berupa rekaman saat simulasi, tulisan, atau apapun, yang kemudian di"brainstorming"
dalam sebuah asmet (assessor meeting)

Sedangkan Potensi, dapat diukur dari tes psikologi. Tes psikologi dalam isu organisasi berbicara tentang bagaimana
individu merespon pada kondisi yang diperhadapkan dengan "seandainya" sehingga muncullah yang disebut
hasil maksimal untuk kondisi tersebut, Bukan sebuah kondisi yang pernah dialami. Dan dalam tanggung jawabnya
psikolog dapat memegang satu atau bahkan lebih dari satu individu yang akan diukur potensinya, mulai
dari awal tes sampai akhir tes, wawancara psikologis dsbnya.

Kedua hal tersebut sangat berbeda, bahkan sangat berbeda dari bentuk penyajian dan pelaporannya.
Sehingga bagi para insan yang melakukan pengukuran, selayaknya tetap berpendirian konsisten.
Yah, mungkin ini semata-mata  pengaruh yang saya alami juga. Saya diajari oleh orang indonesia pertama yang
mendirikan assessment centre di indonesia - lihat assessment centre telkom. Menurut saya, beliau memiliki
kredibilitas tinggi untuk mempertahankan konsep yang berbeda ini.