Minggu, 14 Agustus 2016

Kejahatan Terbesar

Sebelum saya beritahu, saya orangnya itu:

Jika sekitar saya mengkritik saya, saya menyukainya karena hal ini perlu perbaikan dari diri saya sendiri. Saya malah lebih baik dikritik dengan tepat daripada pujian, pujian membuat saya terlena.

Sebaliknya jika saya mengkritik dengan tepat sekitar saya, maka saya masih peduli.

SO Here is the best part.

Malam ini menulis kejahatan terbesar saya


Jika kamu mengalami kebaikan dari saya yang sangat amat sempurna, tanyakanlah dengan serius.

Mungkin saja saya tidak perduli dengan sifat baik anda. Saya justru lebih peduli pada sifat buruk anda.

Saya mungkin memelihara sifat buruk anda.

Kejahatan terbesar saya bukan hanya membiarkan anda di keburukan anda, namun memelihara keburukan anda.

Tapi lagi lagi saya yang kalah
sudahpun dibiarkan, tetap saja ga tega lihat orang hancur.
Sayanya yang hancur terlalu capek untuk orang lain. Saya jadinya istirahat saja dulu menemukan momen yang tepat.

BUKAN PENYESALAN



DAlam dunia pendidikan dimana saya memiliki profesi sebagai tenaga pendidik, saya selalu menerapkan sesuatu yang berbeda dari rekan saya lakukan. Hal yang paling ingin saya ubah adalah persepsi bahwa yang dididik menjadi sosok yang tidak tahu apa apa, sangat polos dan sangat mungkin bisa dikecoh, (meskipun ada aja yang memilih untuk lanjut studi tanpa tahu apa yang akan dicapainya )saya tidak ingin menempatkan mereka seperti itu
Saya ingin menempatkan mereka menjadi lebih dari situ, mungkin lebih menjadi partner atau rekan, bahkan saya mengatakan saya menjadi “teman belajar” buat mereka, supaya jangan sungkan bertanya. Saya juga mendekati anak didik dengan jalan mencoba memahami perilaku mereka di kantin, mengikuti mereka, dan berusaha berdiskusi, serta memotivasi mereka di sela sela makan siang, duduk bareng. Saya berusaha untuk memahami bagaimana saya sebaiknya memberikan materi, dan saya juga berusaha memberikan beberapa kepercayaan seperti motor, laptop, kamera, dan kegiatan –kegiiatan akademis dan non akademis bahkan uang. Dengan catatan saya ingin mereka juga belajar bertanggungjawab.
Sebagaimana semua hal memiliki dua sisi, pendekatan dan keinginan saya untuk mempercayai kualitas, serta tanggungjawabpun punya dampak dua sisi. Satu sisi secara sosial banyak yang sudah mulai tidak segan bertanya di luar kelas untuk banyak hal dari hal akademis maupun membicarakan hal tabu dari perspektif keilmuan, atau hal hal bersifat isu sosial.
Namun satu sisi yang lain, ada saja yang menganggap kedekatan ini sebagai pemanfaatan situasi, dengan berdalih “bapak itu baik, bapak itu mau kok” dan sebagainya ada saja yang berusaha melampaui batas dari sewajarnya, atau bahkan melupakan tanggungjawab yang telah diberikan kepadanya, DAN YANG PALING MEMBUAT SAYA KECEWA, adalah ada Tanggungjawab yang diinisiatifkan oleh anak didik, bukan diberikan, tapi meminta tanggungjawab dengan sukarela, NAMUN sama sekali tidak menjalankan tanggungjawab tersebut.Belum lagi dalam sisi ini, sayapun menjadi seakan bulan-bulanan, mendapat julukan lelucon seperti “ratusan”, “pelit”, “ga jelas” serta paling parah memanggil “nama” dan sebutan “f*ck”. Seingat saya, saya tidak pernah memberikan leabel macem macem saat memanggil, Saya mencoba beri contoh. Alangkah lebih baik saling menghormati. BUKAN GILA HORMAT, TAPI SALING MENGHORMATI. Karena itu adalah yang seharusnya dalam normative sosial bersmasyarakat di Indonesia.
Saya akhirnya mulai kembali berpikir, apakah saya selama ini salah? Mengapa saat saya beri contoh yang baik dengan memberikan sapaan, senyuman dan lainnya direspon dengan keanehan, keburukan dan cemooh?? Apakah hal yang bagus secara normative menjadi sudah tidak pantas lagi saat ini?. Apakah memberikan kepercayaan dari saya menjadi tidak pantas lagi pada masa sekarang ini?.
Saya tidak pernah menyesal untuk mendekati anak didik saya, namun saya bisa kecewa dengan komitmen yang mereka ambil sendiri secara inisiatif. Saya hanya bisa berharap mereka belajar dari yang mungkin saya bisa contohkan baik. Meski tidak menutup kemungkinan lebih banyak contoh berbeda dari orang lain yang membuat akhirnya saya kalah dan berjuang sendiri hanya untuk membuat mereka bisa menerima diri bahwa mereka punya potensi besar untuk sesuatu tujuan besar pula.
Saya kecewa jika kedekatan dianggap memudahkan, dan semakin kecewa jika saya tampilkan profesionalitas diatas kedekatan menjadi isu yang semakin cantik, bahwasanya saya memiliki dua wajah. (hello saya nguji, nguji, menilai ya menilai, ga peduli kedekatan, peduli isi kertas laporan kali).
Saya kecewa jika ada yang akan berargumen dan berpikiir dengan kreatifnya saya di ini itu inikan oleh yang dididik. Bahkan saya pernah mengalami guyonan yang tidak sepantasnya diucapkan saat saya mengundang dengan member kartu undangan pernikahan abang saya.
Saya kecewa saat saya memaafkan kesalahan yang sama berulang-ulang terjadi.
Saya kecewa saat saya menagih janji dan tanggungjawab yang diinisiatifkan (bukan dipaksakan) tidak terealisasi, (mungkin gampanglah bapak itu doank kok).
Diatas segalanya Saya kecewa jika kepercayaan saya dimanfaatkan.  Terutama saat saya merasa kebaikan saya untuk kelanjutan salah satu anak didik terkesan dididik. Saya bukan menyesal. Saya kecewa. Mungkin saya perlu belajar kembali untuk percaya.