Ini kisahnya baper banget ya..
dari kemarin baper dan semacam mendapatkan peran teraniaya, seakan akan hidup
ga mulus saja hahaha
Tulisan ini adalah kisah saya
sesungguhnya saat mengalami 24 – 25 Desember 2016.
Pada malam 24 Desember saya
mengikuti acara malam natal. Saya melihat beberapa orang yang coba saya
hindari, dalam arti sebenarnya saya ga perlu hindari, karena saya ga ada
melakukan apapun yang salah. Hanya ego saya yang tinggi untuk belum menerima
permintaan maaf dari orang orang yang menurut saya, menurut orang lain pun
patut meminta maaf pada saya.
Sampai pada suatu saat, acara
malam natal dilanjutkan dengan perjamuan kudus (hal sacral kristiani yang
dilakukan Yesus untuk murid-muridnya sebelum diserahkan untuk disalibkan).
Sebelum perjamuan tersebut, saya merasa nyesak. Terdapat perkataan- perkataan
yang mengingatkan kembali saya akan hal hal yang membuat apakah saya layak
untuk menerima perjamuan kudus atau tidak. Apakah saya mampu untuk memaafkan mereka
yang mungkin salah sama saya, ataupun apakah saya cukup berani meminta maaf
pada orang lain yang mungkin hatinya terluka saya buat.
Ada masa saya membuat
rasionalisasi, akan segera melakukan tindakan hal hal yang tampak “tidak ada
masalah” setelah saya perjamuan kudus. Saya berniat hal ini dilakukan, NAMUN
setelah memaksa kaki untuk maju ke depan altar gereja, dan memaksakan diri
menerima perjamuan kudus, setelah saya kembali ke tempat saya, saya kembali
tersadarkan bahwa, bukan dengan menampilkan perilaku “tidak ada masalah” maka
masalah akan selesai. Saya terduduk dan sedikit termenung sebelum salah satu
jemaat menyapa saya untuk berbincang-bincang. Maka saya putuskan untuk tidak
melakukan apapun yang membuat saya akan menodai perjamuan kudus yang telah saya
terima.
25 Desember 2016. Hari dimana
saya kembali diingatkan, dihantam, dihujam, dan akhirnya pemikiran saya dirobek
robek. Saya mendengarkan kotbah pendeta inang sirait. Dia sangat menjelaskan
bagaimana manusia menjadi rusak oleh “keserakahannya sendiri” dan bagaimana
TUHAN telah berulang kembali member pengampunan. Dalam kotbah tersebut, Tuhan
yang saya yakini di perjanjian lama telah melakukan tindakan amarah besar untuk
menghukum umat yang berbuat dosa dengan air bah (kalau saya diposisi TUHAN,
mungkin memulai dari 0 penciptaan dan manusianya adalah tindakan tepat tapi
ternyata masih diberikan kesempatan keluarga NUH).
Namun IA kembali membuat
perjanjian untuk dirinya sendiri dengan membuat sebuah pengingat bahwa IA tidak
akan menghukum manusia itu. SAYANGNYA MANUSIA kan sesukanya, jadi berbuat
anarkis, agresif dan segala keserakahannya, Tuhan yang saya yakini malah
mengorbankan diri melalui wujudnya sebagai MANUSIA, yang saya yakini disalibkan
( kalau dari sisi kemanusiaan saya, boro boro uda dimaafkan, masa gue yang
salah malah mengorbankan diri untuk orang yang bersalah sama gue). TAPI INILAH
YANG MENJADI HAL SAKIT BAGI SAYA.
Belum lagi ketika pendeta
tersebut mengatakan “ mari ambil waktu sejenak 5 detik untuk memikirkan orang
orang yang telah menyakiti hati kita, dan mengatakan aku telah memaafkan “ Saya
punya rekaman ini dan sambil merekam, saya pura pura mengucek mata sendiri
dengan tujuan agar tidak terkesan menangis. Saya mengangkat kepala saya sambil
mengelus dada sejenak. Pengalaman akhir akhir ini yang dikecewakan secara
beruntun pada anak anak didik saya, membuat saya sangat menyutujui perkataan
pendeta. “ BAHWA NATAL ADALAH PENGAMPUNAN “, NATAL ADALAH CARA TUHAN MENGOBRAK
ABRIK PEMIKIRAN MANUSIA. Saya kembali diingatkan bahwa Bukan pemikiran saya
dengan kemanusiaan saya yang berlaku untuk manusia, Tapi ada porsi TUHAN
sebagai penentu dan Pemilik Kehendak
Absolut.
Sudahkah saya memaafkan? Saya
rasa, saya yang manusia biasa ini perlu waktu untuk memaafkan dan saya berusaha
akan memaafkan pada waktunya. Semoga saja. Ya Semoga saja dalam Waktu TUHANku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar