Judul ini adalah judul untuk
mengatakan bahwasanya saya masih takjub dan bertanya Tanya.
Akhir April saya berkesempatan
untuk pergi ke salah satu kebun miliki perkebunan Negara. Kegiatan saya di sana
adalah untuk melakukan kegiatan seleksi dengan menggunakan wawancara.
Sebenarnya ini bukan hal yang
baru bagi saya namun ketika langsung datang ke situs lapangan perkebunan dan
kemudian bicaa langsung serta mengikuti semua cerita dunia para Buruh Harian
Lepas yang menggantungkan nasibnya pada keputusan wawancara, maka saya
mengatakan ini terkesan TAKJUB.
Di luar jangkauan pikiran saya,
itulah kalimat yang ingin saya utarakan. Sangat diluar kemampuan pola pikir
saya. Tapi entah apa yang akan saya katakan dalam tulisan ini bisa tergambar
atau tidak.
Apakah itu?
Saya mewawancarain langsung kisah
hidup anak anak usia 17 Tahun sudah menikah, sudah memiliki keturunan dari
pernikahan yang legal (bukan kecelakaan). Arah hidup mereka, mengapa mereka
memilih untuk menikah pada usia yang muda dan terkesan belum matang baik secara
emosi dan ekonomi (setidaknya pada persepsi umum yang saya miliki). Begini, ya
beginilah realitanya. Saya terbiasa mendengar dan melihat dari video
dokumentasi pada salah satu channel televisi. Tapi ini live, langsung saya
hadapin, meskipun dalam situasi melakukan seleksi terhadap mereka.
Alasan alasan yang saya himpun
adalah banyak dari mereka memang tidak memiliki pemikiran yang kompleks
selayaknya orang kota dalam menjalani hidup.
Contoh saja, untuk pacaran ga
perlu ini itu, bukan mengatakan mereka orang kampungan, TIDAK, justru mereka
update dengan hal hal yang terbaru.
Mereka tidak memerlukan sesuatu
yang wah untuk menghidupi dirinya. Bahkan pada umumnya mereka rela bekerja
dibawah tekanan fisik dan emosional untuk mendapatkan uang hanya sebesar 20rb
sampai dengan 50 rb per hari dan belum tentu setiap harinya ada pekerjaan.
Mereka tidak memerlukan gadget
terbaru, pakaian yang mewah, dan terkesan hanya menggunakan diri mereka untuk
bersosialisasi.
Dan
Saya takjub menemukan ada yang menikah
dan si pengantin pria dengan berani melaamar tanpa ada pekerjaan yang tetap,
penghasilan yang lumayan. Saya takjub mereka bisa menghidupi dirinya dengan
kasaran maksimal 1 – 1.5 juta per bulannya dan itupun untuk kebutuhan 1
keluarga yang berisi minimal 2 orang dewasa dan seorang anak bayi. (Disini otak
saya berputar. Sangat berputar)
Sehabis kegiatan seleksi tersebut
saya diskusi dengan kepala project yang mengajak saya. DIa hanya mengatakan. Ya
disini begini dan bagi mereka hidup mereka dari kebun ya kembali ke kebun.
Tidak jarang dari mereka dan orangutan mereka menanamkan hal yang sama untuk
tidak terlalu berpikir macam2. Untuk tetap di daerah yang jauh dari kota dan
tetap berkebun, bekerja sama orang lain/perusahaan perkebunan, asalkan beras
dan garam masih ada di rumah.
Satu sisi otak saya diputar putar
mengingat saya sendiri dengan segala kondisi saya yang notabene lebih dan jauh
beruntung dari mereka. Satu sisi melihat bahwa ternyata ga perlu ribet untuk
memenuhi kebutuhan hidup ini. Asal ada keluarga, asal ada pemenuhan hidup
sederhana ya sudah selesai.
Namun profesi saya menuntut untuk
mengembangkan orang lain, untuk membuat setiap orang mencapai potensi maksimal
yang ia miliki. Saya merasa ternyata profesi saya pun masih jauh dari kata
berhasil. Apalagi kedua tangan saya ini yang pada akhirnya beberapa diantara
mereka harus di gugurkan dalam proses seleksi.
Satu lagi otak saya berpikir, apa
iya ya, mereka tidak terjamah dengan pendidikan yang sebenar benarnya. Yang ada
hanyalah doktrin doktrin untuk menerima keadaan, untuk cepat berpuas diri,
menganggap bahwa kebersyukuran hanya sebatas terima apa yang ada tanpa
memikirkan ada harapan untuk lebih baik tanpa memilirkan bahwa ketika masih
memiliki harapan untuk lebih itupun termasuk salah satu syarat untuk
bersyukur?.
Sumpah, kondisi real ini membuat
saya pening. Sepening saya memikirkan masalah saya yang terkesan sepele saat
saya menulis ataupun mengetik ini.
Rasa bersyukurku belum pada nilai
kodratnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar