DAlam dunia pendidikan dimana
saya memiliki profesi sebagai tenaga pendidik, saya selalu menerapkan sesuatu
yang berbeda dari rekan saya lakukan. Hal yang paling ingin saya ubah adalah
persepsi bahwa yang dididik menjadi sosok yang tidak tahu apa apa, sangat polos
dan sangat mungkin bisa dikecoh, (meskipun ada aja yang memilih untuk lanjut
studi tanpa tahu apa yang akan dicapainya )saya tidak ingin menempatkan mereka
seperti itu
Saya ingin menempatkan mereka
menjadi lebih dari situ, mungkin lebih menjadi partner atau rekan, bahkan saya
mengatakan saya menjadi “teman belajar” buat mereka, supaya jangan sungkan
bertanya. Saya juga mendekati anak didik dengan jalan mencoba memahami perilaku
mereka di kantin, mengikuti mereka, dan berusaha berdiskusi, serta memotivasi
mereka di sela sela makan siang, duduk bareng. Saya berusaha untuk memahami
bagaimana saya sebaiknya memberikan materi, dan saya juga berusaha memberikan
beberapa kepercayaan seperti motor, laptop, kamera, dan kegiatan –kegiiatan
akademis dan non akademis bahkan uang. Dengan catatan saya ingin mereka juga
belajar bertanggungjawab.
Sebagaimana semua hal memiliki
dua sisi, pendekatan dan keinginan saya untuk mempercayai kualitas, serta
tanggungjawabpun punya dampak dua sisi. Satu sisi secara sosial banyak yang
sudah mulai tidak segan bertanya di luar kelas untuk banyak hal dari hal
akademis maupun membicarakan hal tabu dari perspektif keilmuan, atau hal hal
bersifat isu sosial.
Namun satu sisi yang lain, ada
saja yang menganggap kedekatan ini sebagai pemanfaatan situasi, dengan berdalih
“bapak itu baik, bapak itu mau kok” dan sebagainya ada saja yang berusaha
melampaui batas dari sewajarnya, atau bahkan melupakan tanggungjawab yang telah
diberikan kepadanya, DAN YANG PALING MEMBUAT SAYA KECEWA, adalah ada
Tanggungjawab yang diinisiatifkan oleh anak didik, bukan diberikan, tapi
meminta tanggungjawab dengan sukarela, NAMUN sama sekali tidak menjalankan
tanggungjawab tersebut.Belum lagi dalam sisi ini, sayapun menjadi seakan
bulan-bulanan, mendapat julukan lelucon seperti “ratusan”, “pelit”, “ga jelas”
serta paling parah memanggil “nama” dan sebutan “f*ck”. Seingat saya, saya
tidak pernah memberikan leabel macem macem saat memanggil, Saya mencoba beri
contoh. Alangkah lebih baik saling menghormati. BUKAN GILA HORMAT, TAPI SALING
MENGHORMATI. Karena itu adalah yang seharusnya dalam normative sosial
bersmasyarakat di Indonesia.
Saya akhirnya mulai kembali
berpikir, apakah saya selama ini salah? Mengapa saat saya beri contoh yang baik
dengan memberikan sapaan, senyuman dan lainnya direspon dengan keanehan,
keburukan dan cemooh?? Apakah hal yang bagus secara normative menjadi sudah
tidak pantas lagi saat ini?. Apakah memberikan kepercayaan dari saya menjadi
tidak pantas lagi pada masa sekarang ini?.
Saya tidak pernah menyesal untuk
mendekati anak didik saya, namun saya bisa kecewa dengan komitmen yang mereka
ambil sendiri secara inisiatif. Saya hanya bisa berharap mereka belajar dari
yang mungkin saya bisa contohkan baik. Meski tidak menutup kemungkinan lebih
banyak contoh berbeda dari orang lain yang membuat akhirnya saya kalah dan
berjuang sendiri hanya untuk membuat mereka bisa menerima diri bahwa mereka
punya potensi besar untuk sesuatu tujuan besar pula.
Saya kecewa jika kedekatan dianggap memudahkan, dan semakin
kecewa jika saya tampilkan profesionalitas diatas kedekatan menjadi isu yang
semakin cantik, bahwasanya saya memiliki dua wajah. (hello saya nguji, nguji,
menilai ya menilai, ga peduli kedekatan, peduli isi kertas laporan kali).
Saya kecewa jika ada yang akan berargumen dan berpikiir
dengan kreatifnya saya di ini itu inikan oleh yang dididik. Bahkan saya pernah
mengalami guyonan yang tidak sepantasnya diucapkan saat saya mengundang dengan member
kartu undangan pernikahan abang saya.
Saya kecewa saat saya memaafkan kesalahan yang sama
berulang-ulang terjadi.
Saya kecewa saat saya menagih janji dan tanggungjawab yang
diinisiatifkan (bukan dipaksakan) tidak terealisasi, (mungkin gampanglah bapak
itu doank kok).
Diatas segalanya Saya
kecewa jika kepercayaan saya dimanfaatkan. Terutama saat saya merasa kebaikan saya untuk
kelanjutan salah satu anak didik terkesan dididik. Saya bukan menyesal. Saya
kecewa. Mungkin saya perlu belajar kembali untuk percaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar