"bagaimana pak sejauh ini?"
ini adalah pertanyaan yang diajukan pada saya hari ini. Saya menjawab "ya.... (disambut rekan lain)... lacar pak, minggu ini ada ujian.
Minggu lalu sampai saat ini, saya diperhadapkan dengan situasi untuk memberikan materi tentang suatu topik mata kuliah. Saya mencoba mengikuti kemampuan mahasiswa yang ada.
dan inilah yang menjadi sedikit pengalaman saya:
1. Pada suatu pertemuan saya dikejutkan oleh betapa peserta didik tidak disampaikan beberapa hal yang menjadi hak untuk mereka ketahui. Kemudian saya berpikir apakah mungkin belum tersampaikan atau pihak sebelumnya mencukupkan sampai batasan tertentu, karena melihat kemampuan peserta yang dididik. Atau mungkin peserta didik yang sudah lupa atau punya motif tidak mau tau.
2. Saat peserta didik secara volunter ataupun ditunjuk memberikan contoh penjelasan, saya juga dikejutkan dengan contoh yang sangat kompleks, yang berujung pada gagalnya menjelaskan konsep sederhana. Saya hanya berpendapat bahwa adanya persepsi "bila mampu memberikan sesuatu yang lebih maka dianggap memiliki suatu keunggulan pribadi dari yang lain". Bagi saya persepsi ini selalu menghantui hampir setiap orang. Ya, persepsi ini baik, bila secara sadar mampu, dan tidak melihat respon orang lain (dalam arti membandingkan). Tapi, Persepsi ini tidak baik bila untuk memuaskan ke-aku-an untuk mendapatkan pengakuan.
3.Saat saya menanyakan ulang contoh yang diberikan peserta yang dididik, selalu terjadi keraguan. Saya hanya berpikir bahwa mungkin perlunya penanaman kepercayaan diri oleh tenaga pendidik. Kondisi ini bisa sedikit disentil, diubah tingkat 'zona aman' ketidak pedeannya, mungkin bagi tenaga pendidik mengembalikan semua arti penuh pada sumber yang menjadi acuan, dan berikan peserta didik untuk mencerna kata-kata yang paham secara real time (saat itu juga). Mungkin, terkait dengan no. 2 seharusnya pemberian contoh terdekat dengan peserta didik sebaiknya dikembangkan dahulu lalu naik ke tahapan pola pikir yang lebih kompleks. Mungkin, dengan memberikan kesempatan pada peserta didik untuk tampil 'show' di depan teman-temannya, dimulai dari berdiri sendiri di depan tempat duduknya, kemudian diajak ke depan, kemudian diyakinkan bahwa "Belajar itu memulai dari pengertian salah untuk mencapai pengertian yang benar"
4. Saat saya memberikan konsekuensi atau akibat untuk suatu tindakan yang telah dari kesepakatan bersama. Terdapat cerita lama yang menegosiasikan konsekuensi. Kondisi ini memang selalu terjadi. Rasa Kasihan, melunturkan peraturan yang telah disepakati bersama. Bukan berbicara demokrasi, bukan berbicara salah satu asal muasal dari KKN. Saya berbicara tentang integritas versus kasihan. Karena Integritas seharusnya seia sekata dari peraturan, perbuatan atau perilaku, sedangkan kasihan berbicara tentang sebuah kelunakan, toleransi yang jauh berbeda arti dengan KASIH. Pada persepsi saya Kasih mampu mendamaikan tapi ia tetap menghajar ketidakadilan.
5. Saat saya bertanya untuk keperluan peserta didik. Saya bingung mengapa selalu terjadi tradisi di tiap "sekolah" yang pernah saya tanyakan seakan-akan peserta didik dibebankan?
Peserta didik dituntut hanya belajar. ya hanya belajar. Belajar dari materi yang disampaikan, mengkolaborasikan dengan kehidupan yang dijalani ataupun langsung menerapkannya. Peserta didik tidak dapat dibebani dengan pemikiran 'berapa rupiah lagi yang saya akan keluarkan' untuk hal tertentu yang menyangkut saat di luar pendidikan. Mari ambil contoh, setiap peserta didik memiliki ketua yang menjadi penghubung dengan orang yang mengambil peran sebagai pendidik. Peserta yang merangkap sebagai ketua tersebut selayaknya tidak dibebani lagi masalah biaya komunikasi, ketersediaan perlengkapan saat proses belajar terjadi.
dan.. bagaimana tenaga pendidik?
saya hanya berpikir, dari sebuah kalimat yang dari dahulu didengar oleh : "untuk memulai perubahan, mulailah dari diri sendiri". Mungkin ini dapat dilakukan dari metode saat berbagi ilmu pada peserta. Mampu membahasakan ilmu kompleks menjadi sedeerhana, atau mungkin pada bahasa yang bisa dimengerti oleh peserta didik. Mampu meningkatkan motivasi peserta didik, yang mungkin dimulai dari iming-iming dorongan luar, yang kemudian dikonversikan menjadi dorongan dari dalam diri individu peserta didik.
Yaah ini mungkin adalah konsep idealis. Mungkin sebaiknya kita berusaha saja, sebaik mungkin, sebia mungkin sampai bila memungkinkan mencapai yang sempurna. Meski, yang sempurna adalah milik Empunya Hidup.
Selasa, 06 Agustus 2013
Kamis, 01 Agustus 2013
Kompetensi dan Potensi itu berbeda?
Sedikit bercerita mengenai pengalaman saya saat diajari atau dilatih kata tepatnya
pada sebuah pelatihan assessment centre dan behavioral event interviewer
Saya diajari konsep utama sebagai dasar sebuah proses "audisi" di sebuah perusahaan. Salah satunya adalah
konsep kompetensi dan potensi. Konsep ini sebenarnya sudah sangat familiar, namun saya mendapat gambaran lebih baik
Bahwasanya Kompetensi merupakan semua kemampuan ataupun perilaku yang dibutuhkan saat melakukan suatu tugas tertentu, dan semuanya harus dapat diobservasi
sedangkan potensi adalah semua talenta, sifat, kepribadian yang memiliki kecenderungan, serta bisa jadi dibutuhkan saat melakukan tugas tertentu
Yang menjadi perbedaan utama ialah Kompetensi berbicara tentang "kemampuan" dan hanya bisa
digali dalam sebuah proses yang dinamakan dengan assessment centre.
Sedangkan potensi berbicara tentang "kecenderungan" tak terlihat dan bisa digali dari review
serta tes-tes psikologi
Secara defenisi, saya memandang bahwa assesment centre merupakan sebuah proses/metode yang terdiri
dari berbagai simulasi untuk menggali kompetensi. Biasanya prosesnya minimal tiga simulasi.
Pada setiap simulasi, satu assessee (sebutan individu yg akan diukur/assess) dipegang oleh seorang assessor
(org yg berhak melakukan pengukuran), dan di simulasi berikutnya assessee yang sama dipegang/diukur oleh
assessor kedua, berikutnya pada simulasi ke tiga assesse yang sama di ukur oleh assessor yang ketiga.
Begitu seterusnya bila terdapat lbh dari 3 simulasi maka assessornya juga disesuaikan
Hal ini dilakukan untuk menghindari subjektifitas, kemudian semua assessor punya data sebagai bukti
dalam hal ini baik berupa rekaman saat simulasi, tulisan, atau apapun, yang kemudian di"brainstorming"
dalam sebuah asmet (assessor meeting)
Sedangkan Potensi, dapat diukur dari tes psikologi. Tes psikologi dalam isu organisasi berbicara tentang bagaimana
individu merespon pada kondisi yang diperhadapkan dengan "seandainya" sehingga muncullah yang disebut
hasil maksimal untuk kondisi tersebut, Bukan sebuah kondisi yang pernah dialami. Dan dalam tanggung jawabnya
psikolog dapat memegang satu atau bahkan lebih dari satu individu yang akan diukur potensinya, mulai
dari awal tes sampai akhir tes, wawancara psikologis dsbnya.
Kedua hal tersebut sangat berbeda, bahkan sangat berbeda dari bentuk penyajian dan pelaporannya.
Sehingga bagi para insan yang melakukan pengukuran, selayaknya tetap berpendirian konsisten.
Yah, mungkin ini semata-mata pengaruh yang saya alami juga. Saya diajari oleh orang indonesia pertama yang
mendirikan assessment centre di indonesia - lihat assessment centre telkom. Menurut saya, beliau memiliki
kredibilitas tinggi untuk mempertahankan konsep yang berbeda ini.
pada sebuah pelatihan assessment centre dan behavioral event interviewer
Saya diajari konsep utama sebagai dasar sebuah proses "audisi" di sebuah perusahaan. Salah satunya adalah
konsep kompetensi dan potensi. Konsep ini sebenarnya sudah sangat familiar, namun saya mendapat gambaran lebih baik
Bahwasanya Kompetensi merupakan semua kemampuan ataupun perilaku yang dibutuhkan saat melakukan suatu tugas tertentu, dan semuanya harus dapat diobservasi
sedangkan potensi adalah semua talenta, sifat, kepribadian yang memiliki kecenderungan, serta bisa jadi dibutuhkan saat melakukan tugas tertentu
Yang menjadi perbedaan utama ialah Kompetensi berbicara tentang "kemampuan" dan hanya bisa
digali dalam sebuah proses yang dinamakan dengan assessment centre.
Sedangkan potensi berbicara tentang "kecenderungan" tak terlihat dan bisa digali dari review
serta tes-tes psikologi
Secara defenisi, saya memandang bahwa assesment centre merupakan sebuah proses/metode yang terdiri
dari berbagai simulasi untuk menggali kompetensi. Biasanya prosesnya minimal tiga simulasi.
Pada setiap simulasi, satu assessee (sebutan individu yg akan diukur/assess) dipegang oleh seorang assessor
(org yg berhak melakukan pengukuran), dan di simulasi berikutnya assessee yang sama dipegang/diukur oleh
assessor kedua, berikutnya pada simulasi ke tiga assesse yang sama di ukur oleh assessor yang ketiga.
Begitu seterusnya bila terdapat lbh dari 3 simulasi maka assessornya juga disesuaikan
Hal ini dilakukan untuk menghindari subjektifitas, kemudian semua assessor punya data sebagai bukti
dalam hal ini baik berupa rekaman saat simulasi, tulisan, atau apapun, yang kemudian di"brainstorming"
dalam sebuah asmet (assessor meeting)
Sedangkan Potensi, dapat diukur dari tes psikologi. Tes psikologi dalam isu organisasi berbicara tentang bagaimana
individu merespon pada kondisi yang diperhadapkan dengan "seandainya" sehingga muncullah yang disebut
hasil maksimal untuk kondisi tersebut, Bukan sebuah kondisi yang pernah dialami. Dan dalam tanggung jawabnya
psikolog dapat memegang satu atau bahkan lebih dari satu individu yang akan diukur potensinya, mulai
dari awal tes sampai akhir tes, wawancara psikologis dsbnya.
Kedua hal tersebut sangat berbeda, bahkan sangat berbeda dari bentuk penyajian dan pelaporannya.
Sehingga bagi para insan yang melakukan pengukuran, selayaknya tetap berpendirian konsisten.
Yah, mungkin ini semata-mata pengaruh yang saya alami juga. Saya diajari oleh orang indonesia pertama yang
mendirikan assessment centre di indonesia - lihat assessment centre telkom. Menurut saya, beliau memiliki
kredibilitas tinggi untuk mempertahankan konsep yang berbeda ini.
Senin, 29 Juli 2013
Tentang Kuala Namu Airport dan City Railink Station
Hari ini saya memiliki kegiatan yang tidak terencana. Pergi ke bandara kuala namu. Awalnya untuk menemani orangtua saya sampai pada stasiun kereta api yang menuju bandara (ceritanya, di indonesia, baru hanya di kota medan terdapat kereta yang langsung menuju bandara, yah seperti MRT di singapura, tapi versi lebih sederhana).
Setelah engecek bahwa tarif kereta untuk tujuan bandara kuala namu sebesar Rp80.000 per person. Ayah saya memutuskan untuk mengetahui rute lain yaitu dengan mengambil taksi tarif bawah (nego/ tidak memakai argo). Karena memikirkan kepraktisan dari depan rumah langsung menuju bandara, tanpa singgah ke stasiun. Ternyata harga yang ditawarkan adalah Rp 150.000,-utk satu kali perjalanan. Setelah saya cek di internet, ternyata pernah dilakukan simulasi dari beberapa spot hotel oleh kementrian perhubungan untuk satu kali keberangkatan menuju bandara kuala namu argo menunjukkan rerata angka 130ribu. tentunya belum termasuk uang tol dr bandar selamat dan biaya masuk bandara.
Dan inilah sepintas rekaman bandara kuala namu tersebut.
Saat memasuki bagian drop off untuk keberangkatan, dari depan pintu masuk sudah tampak petunjuk untuk wilayah cek in.. (Side B untuk Garuda, Citilink dan Side C untuk Lion air, Mandala, dllnya). Perlu diketahui, bahwa tidak seperti polonia terdahulu, sampai tulisan ini dibuat pengunjung non penumpang diperbolehkan menemani penumpang untuk cek in tapi untuk menuju gerbang keberangkatan hanyalah bagi penumpang.
Sekilas dari desain bandara kuala namu, tampak bahwa bentuk langit-langit dan posisi wilayah cek in sedikit menyerupai yang ada di bandara changi, singapura.
Berikut adalah serial video yang saya buat 3 hari setelah bandara kuala namu di aktifkan
Menuju keluar 1
Setelah engecek bahwa tarif kereta untuk tujuan bandara kuala namu sebesar Rp80.000 per person. Ayah saya memutuskan untuk mengetahui rute lain yaitu dengan mengambil taksi tarif bawah (nego/ tidak memakai argo). Karena memikirkan kepraktisan dari depan rumah langsung menuju bandara, tanpa singgah ke stasiun. Ternyata harga yang ditawarkan adalah Rp 150.000,-utk satu kali perjalanan. Setelah saya cek di internet, ternyata pernah dilakukan simulasi dari beberapa spot hotel oleh kementrian perhubungan untuk satu kali keberangkatan menuju bandara kuala namu argo menunjukkan rerata angka 130ribu. tentunya belum termasuk uang tol dr bandar selamat dan biaya masuk bandara.
Dan inilah sepintas rekaman bandara kuala namu tersebut.
Saat memasuki bagian drop off untuk keberangkatan, dari depan pintu masuk sudah tampak petunjuk untuk wilayah cek in.. (Side B untuk Garuda, Citilink dan Side C untuk Lion air, Mandala, dllnya). Perlu diketahui, bahwa tidak seperti polonia terdahulu, sampai tulisan ini dibuat pengunjung non penumpang diperbolehkan menemani penumpang untuk cek in tapi untuk menuju gerbang keberangkatan hanyalah bagi penumpang.
Sekilas dari desain bandara kuala namu, tampak bahwa bentuk langit-langit dan posisi wilayah cek in sedikit menyerupai yang ada di bandara changi, singapura.
Berikut adalah serial video yang saya buat 3 hari setelah bandara kuala namu di aktifkan
Menuju keluar 1
Selasa, 09 Juli 2013
Sebuah Penelitian atau sebuah kondisi yang dipersyaratkan.
Tulisan ini, terpikir dari suatu percakapan dengan teman saya dan kemudian diskusi saya dengan orang tua saya (ayah). Suatu ketika teman saya bertanya tentang sebuah jenis data penelitian yang alih-alih selama ini mengharuskan data tersebut diuji secara linier. Pada pertanyaan teman saya (yang sebenarnya adalah pertanyaan mahasiswa yang diminta dosen seniornya diajukan kepadanya), adalah "bagaimana cara menguji sebuah korelasi bila data asumsinya ditemukan data tersebar normal kemudian diuji dengan linieritas, ternyata menghasilkan data tidak linier, sehingga dipastikan tidak dapat dilanjut pada sebuah uji hipotesa.
Selama ini hampir semua ilmu sosial yang saya ketahui menguji sebuah hipotesa korelasi, mensyaratkan asumsi normalitas dan linieritas.Bila tidak normal dapat dilakukan sebuah uji non parametrik, bila tidak linier juga dapat dilakukan dengan menghilangkan data-data yang bersifat mengganggu sebuah linieritas (tidak memanipulasi angka data), hanya saja menghapus data yang dianggap tidak valid sebagai contoh data dari subjek yang mungkin mengisi secara asal-asalan. dan bila banyak cara salah, dapat mengulang dengan memperhatikan alat ukur yang lebih baik.
Selama ini hampir semua ilmu sosial yang saya ketahui menguji sebuah hipotesa korelasi, mensyaratkan asumsi normalitas dan linieritas.Bila tidak normal dapat dilakukan sebuah uji non parametrik, bila tidak linier juga dapat dilakukan dengan menghilangkan data-data yang bersifat mengganggu sebuah linieritas (tidak memanipulasi angka data), hanya saja menghapus data yang dianggap tidak valid sebagai contoh data dari subjek yang mungkin mengisi secara asal-asalan. dan bila banyak cara salah, dapat mengulang dengan memperhatikan alat ukur yang lebih baik.
Sampai suatu diskusi pada orang tua saya yang bertepatan memiliki peran sebagai dosen, mengutarakan suatu pernyataan : "Pada ilmu statistik, semua data berperan penting meskipun tidak memenuhi kaidah yang umum berlaku, sebuah korelasi tidak harus normal, dan juga tidak harus linier, semua dapat diolah". Kemudian ortu saya memperlihatkan sebuah rumusan untuk menjawab pertanyaan teman saya, yaitu dengan memakai persamaan kuadratik serta memakai regresi non linier. Namun bukan hanya sampai disitu. Ortu saya berkata kemudian "itulah yang mungkin jadi kekurangan pada penelitian-penelitian sekarang, sudah mulai memaksa, sehingga pengembangan ilmu itu sendiri berhenti dan tidak berkembang ". Kemudian saya teringat dengan sebuah seminar yang pernah saya hadiri pada sebuah kelas antropologi di UGM. Pembicaranya adalah dosen setempat yang ingin merampungkan program doktornya berkata :" semua penelitian itu selalu memihak, paling tidak memihak peneliti, terutama kalau ingin lulus".
Setelah memikirkan hal tersebut, saya punya dugaan ataupun sebuah pertanyaan. "Apakah di indonesia saya ini, kualitas mahasiswa yang ternyata layak dinyatakan lulus untuk mendapatkan sebuah gelar, melakukan sebuah penelitian yang berpihak pada penelitinya? bukan data yang mewakili fenomena sebenarnya?". Bagaimana bila hal tersebut memang banyak terjadi, melihat indonesia memiliki banyak sekali bisnis yang mengatasnamakan pendidikan (bukan saya bermaksud tidak ada bisnis pendidikan yang bermutu). Bagaimana bila peneliti yang dalam hal ini adalah mahasiswa yang ingin lulus melakukan sebuah cara cara yang "memaksa" agar data tersebut dapat berjalan mulus untuk diuji, kemudian hasilnya sesuai atau tidak dengan hipotesa, dan kemudian penelitian berhenti sampai disitu (tidak ada perkembangan yang berarti )atau digunakan sebagai rujukan suatu penelitian berikutnya yang kemudian bisa berdampak semakin beresiko.
Semua hal ini membuat saya mengoreksi diri juga, bahwa dahulu saya pernah juga melakukan sebuah penelitian pada saat semester terakhir sekolah sarjana mengharuskan demi sebuah syarat kelulusan. Bukan untuk bermaksud untuk membenarkan diri, saya meneliti konsep yang mungkin pernah diteliti orang lain, tapi pada setting dan fenomena yang sedikit berbeda. Saya juga mengingat masa-masa menulisnya, mengharuskan saya bertanya pada dosen-dosen dari beberapa ahli yang berbeda seperti bahasa, matematika dan jurusan saya sendiri. Kemudian menghasilkan penelitian yang tidak berakhir pada sebuah kebanggaan yang dapat dikenang, mengingat kesimpulan yang didapatkan memunculkan hal yang berbeda dari hasil penelitian yang memiliki judul yang mirip, tapi belum mengungkapkan sesuatu yang "wah" (walaupun sebenarnya menurut saya perlu penelitian lanjutan tuk buktikan sesuatu yang berbeda tersebut). Yah paling tidak, kesesuaian prosedur dari sebuah layaknya penelitian dapat saya penuhi (sesuai harapan semua dosen pada kompetensi s1 pada waktu itu).
Setelah memikirkan hal tersebut, saya punya dugaan ataupun sebuah pertanyaan. "Apakah di indonesia saya ini, kualitas mahasiswa yang ternyata layak dinyatakan lulus untuk mendapatkan sebuah gelar, melakukan sebuah penelitian yang berpihak pada penelitinya? bukan data yang mewakili fenomena sebenarnya?". Bagaimana bila hal tersebut memang banyak terjadi, melihat indonesia memiliki banyak sekali bisnis yang mengatasnamakan pendidikan (bukan saya bermaksud tidak ada bisnis pendidikan yang bermutu). Bagaimana bila peneliti yang dalam hal ini adalah mahasiswa yang ingin lulus melakukan sebuah cara cara yang "memaksa" agar data tersebut dapat berjalan mulus untuk diuji, kemudian hasilnya sesuai atau tidak dengan hipotesa, dan kemudian penelitian berhenti sampai disitu (tidak ada perkembangan yang berarti )atau digunakan sebagai rujukan suatu penelitian berikutnya yang kemudian bisa berdampak semakin beresiko.
Semua hal ini membuat saya mengoreksi diri juga, bahwa dahulu saya pernah juga melakukan sebuah penelitian pada saat semester terakhir sekolah sarjana mengharuskan demi sebuah syarat kelulusan. Bukan untuk bermaksud untuk membenarkan diri, saya meneliti konsep yang mungkin pernah diteliti orang lain, tapi pada setting dan fenomena yang sedikit berbeda. Saya juga mengingat masa-masa menulisnya, mengharuskan saya bertanya pada dosen-dosen dari beberapa ahli yang berbeda seperti bahasa, matematika dan jurusan saya sendiri. Kemudian menghasilkan penelitian yang tidak berakhir pada sebuah kebanggaan yang dapat dikenang, mengingat kesimpulan yang didapatkan memunculkan hal yang berbeda dari hasil penelitian yang memiliki judul yang mirip, tapi belum mengungkapkan sesuatu yang "wah" (walaupun sebenarnya menurut saya perlu penelitian lanjutan tuk buktikan sesuatu yang berbeda tersebut). Yah paling tidak, kesesuaian prosedur dari sebuah layaknya penelitian dapat saya penuhi (sesuai harapan semua dosen pada kompetensi s1 pada waktu itu).
Senin, 01 Juli 2013
Rasionalisasi
saya tidak membahas tentang mekanisme pertahanan diri dari seorang tokoh psikodinamika, saya hanya membahas perilaku manusia selama 2-3 Thun belakangan ini. Semula dari saya menolak menonton banyak acara motivasi, baik dari orang yang dianggap kurang terkenal sampai orang terkenal dan diakui se indonesia. Mengapa? dari dulu saya sudah berusaha mengetahui alasan orang pergi ke motivator, yaitu mendengarkan apa yang ingin didengar. Kemudian seiring waktu para motivator berinovasi untuk membawa para pendengar/penonton kepada tahapan "mendiskusikan realita, menggebrak suasana zona aman sehingga mereka mau tidak mau mendengar/ melihat yang bukan ingin menyenangkan diri mereka semata". Penonton/pendengar mulai melakukan pengasahan diri mereka, mulai mencari-cari core (inti/alasan) mereka membuat suatu perilaku dan berusaha memprediksinya. (sebagaimana dikatakan awal baik hasil pun baik), dan yang paling sering dilakukan untuk mendasarkan perilaku mereka adalah memberikan seuah statemen dari para filsuf terdahulu/ politisi/ budayawan/motivator/ tokoh2 lainnya. Bahkan, mereka menggunakan statemen tersebut untuk "menyerang" pihak lain yang telah bersinggungan dengan wilayah mereka.
Perilaku yang terjadi menurut saya adalah sebuah usaha melindungi diri, sebuah usaha untuk menjadi nyaman (kembali). Sehingga menurut saya terkadang berpikir
"Menggunakan kata-kata bijak untuk merasionalisasi perilaku diri sendiri juga merupakan tindakan egois"
Perilaku yang terjadi menurut saya adalah sebuah usaha melindungi diri, sebuah usaha untuk menjadi nyaman (kembali). Sehingga menurut saya terkadang berpikir
"Menggunakan kata-kata bijak untuk merasionalisasi perilaku diri sendiri juga merupakan tindakan egois"
Jumat, 28 Juni 2013
Sabtu, 15 Juni 2013
Pup dan Kebusukan
Saya pernah melihat tulisan pak sarlito sarwono (salah satu psikolog, penulis buku pengamat ternama di indonesia) pada facebooknya di tanggal 1 juni 2013. Beliau menuliskan pandangan-pandangan tentang sebuah rumah yag memiliki ruang toilet sserta kakusnya, dengan mengambil analogi persamaan dengan sebuah negara dengan sebuah tempat- tempat lokal (atau lokalisasi). Saya mengambil kesimpulan bagaimana sebuah rumah (sebuah negara) memiliki ruang khusus untuk membuang/ menutup/ menyembunyikan kotoran yaitu sebuah toilet (kebusukan negara yang terselubungi dari tempat-tempat lokalisasi, prostitus dan seagainya).
Kemudian saya berpikir kembali akan tulisan tersebut. Benar memang jika analoginya adalah hanya ttg menutupi kebusukan. Tapi bila ditilik lebih jauh lagi, Sebuah rumah dengan isinya adalah penghuni anggota keluarga, dimana setelah proses kegiatan rumah tangga baik berupa bangun, makan, bersih-bersih, adalah kegiatan membuang kotoran (pup). Bila tulisan pak sarlito melihat keserasian ataupun kesamaan adanya pup (kebusukan) dengan para pelaku kegiatan prostitusi, saya belum memahaminya. Pup adalah bagian hasil proses. Sedangkan Pelaku kegiatan bisnis kesenangan syahwat tersebut bisa jadi atau bisa tidak jadi dari hasil sebuah proses. Mereka juga masih bagian dari sebuah proses, bukan hasil akhir. Pelaku kegiatan bisnis syahwat bukanlah Pup akibat sebuah proses dari adanya sebuah negara.
Kemudian saya berpikir kembali akan tulisan tersebut. Benar memang jika analoginya adalah hanya ttg menutupi kebusukan. Tapi bila ditilik lebih jauh lagi, Sebuah rumah dengan isinya adalah penghuni anggota keluarga, dimana setelah proses kegiatan rumah tangga baik berupa bangun, makan, bersih-bersih, adalah kegiatan membuang kotoran (pup). Bila tulisan pak sarlito melihat keserasian ataupun kesamaan adanya pup (kebusukan) dengan para pelaku kegiatan prostitusi, saya belum memahaminya. Pup adalah bagian hasil proses. Sedangkan Pelaku kegiatan bisnis kesenangan syahwat tersebut bisa jadi atau bisa tidak jadi dari hasil sebuah proses. Mereka juga masih bagian dari sebuah proses, bukan hasil akhir. Pelaku kegiatan bisnis syahwat bukanlah Pup akibat sebuah proses dari adanya sebuah negara.
Langganan:
Postingan (Atom)