Sabtu, 26 Mei 2018

SIAPA BILANG SAYA….


Saya tidak pernah di ekonomi susah?

Saya sangat pernah menjadi pedagang kecil di saat kelas 3 SLTP. Saya membantu seikit untuk menjual kerupuk dan permen jahe untuk menambah keuangan keluarga. Bukan, bukan seperti yang dipikirkan oran orang bahwa saya sudah berada pada kondisi  enak. Saat itu saya bisa menghasilkan duit 60ribu untuk zaman saya SLTP. Dan itu nilainya memang tidak banyak, tapi pada zaman saya paling tidak bisa membantu mempertahankan dapur mama saya tetap mengepul.

Alasan saya membantu tidak lain tidak bukan karena kondisi keuangan orangtua yang saat itu sangat seret. Bukan PNS Guru zaman now yang berlimpah ruah dengan sertifikasi. TIdak, mama saya saat itupun masih memiliki gaji ratusan ribu rupiah. Ayah saya? Tidak perlu ditanyakan keuangannya, dosen swasta akan sangat sulit bergerak kemanapun.

Saya pernah di kondisi sulit. Dibelikan baju celana, dan bahkan saat itu pernah memakai celana dalam bekas (monja sebutan saat itu). Saya sangat pernah makan lauknya sayurnya sangat amat terbatas DAN BAHKAN terkesan DIJATAH atau bahkan DIPANASIN LAGI – sampai  sampai saya melihat mama saya tidak ingin makan lauk dan sayur dengan alasan sudah kenyang mencicipi saat masak. Saya pernah memakai celana sekolah yang saat itu hanya bisa dikancing peniti. Memakai karet untuk kaus kaki yang sudah melar karena dipakai dari turun temurun. Bahkan, daging saat itu menjadi seakan hal yang sangat dinanti nanti apalagi ketika ada pesta undangan dari sanak saudara dan lainnya.

Siapa bilang saya tidak pernah di ekonomi susah. Justru saya tahu rasanya kekurangan makanya saya berusaha sekitar saya jangan sampai tidak layak (meskipun tangan saya masih terbatas membantu).

Kamis, 24 Mei 2018

Kok Bisa kali gitu ya?



Judul ini adalah judul untuk mengatakan bahwasanya saya masih takjub dan bertanya Tanya.
Akhir April saya berkesempatan untuk pergi ke salah satu kebun miliki perkebunan Negara. Kegiatan saya di sana adalah untuk melakukan kegiatan seleksi dengan menggunakan wawancara.
Sebenarnya ini bukan hal yang baru bagi saya namun ketika langsung datang ke situs lapangan perkebunan dan kemudian bicaa langsung serta mengikuti semua cerita dunia para Buruh Harian Lepas yang menggantungkan nasibnya pada keputusan wawancara, maka saya mengatakan ini terkesan TAKJUB.

Di luar jangkauan pikiran saya, itulah kalimat yang ingin saya utarakan. Sangat diluar kemampuan pola pikir saya. Tapi entah apa yang akan saya katakan dalam tulisan ini bisa tergambar atau tidak.
Apakah itu?

Saya mewawancarain langsung kisah hidup anak anak usia 17 Tahun sudah menikah, sudah memiliki keturunan dari pernikahan yang legal (bukan kecelakaan). Arah hidup mereka, mengapa mereka memilih untuk menikah pada usia yang muda dan terkesan belum matang baik secara emosi dan ekonomi (setidaknya pada persepsi umum yang saya miliki). Begini, ya beginilah realitanya. Saya terbiasa mendengar dan melihat dari video dokumentasi pada salah satu channel televisi. Tapi ini live, langsung saya hadapin, meskipun dalam situasi melakukan seleksi terhadap mereka.

Alasan alasan yang saya himpun adalah banyak dari mereka memang tidak memiliki pemikiran yang kompleks selayaknya orang kota dalam menjalani hidup. 

Contoh saja, untuk pacaran ga perlu ini itu, bukan mengatakan mereka orang kampungan, TIDAK, justru mereka update dengan hal hal yang terbaru. 

Mereka tidak memerlukan sesuatu yang wah untuk menghidupi dirinya. Bahkan pada umumnya mereka rela bekerja dibawah tekanan fisik dan emosional untuk mendapatkan uang hanya sebesar 20rb sampai dengan 50 rb per hari dan belum tentu setiap harinya ada pekerjaan. 

Mereka tidak memerlukan gadget terbaru, pakaian yang mewah, dan terkesan hanya menggunakan diri mereka untuk bersosialisasi.

Dan

Saya takjub menemukan ada yang menikah dan si pengantin pria dengan berani melaamar tanpa ada pekerjaan yang tetap, penghasilan yang lumayan. Saya takjub mereka bisa menghidupi dirinya dengan kasaran maksimal 1 – 1.5 juta per bulannya dan itupun untuk kebutuhan 1 keluarga yang berisi minimal 2 orang dewasa dan seorang anak bayi. (Disini otak saya berputar. Sangat berputar)

Sehabis kegiatan seleksi tersebut saya diskusi dengan kepala project yang mengajak saya. DIa hanya mengatakan. Ya disini begini dan bagi mereka hidup mereka dari kebun ya kembali ke kebun. Tidak jarang dari mereka dan orangutan mereka menanamkan hal yang sama untuk tidak terlalu berpikir macam2. Untuk tetap di daerah yang jauh dari kota dan tetap berkebun, bekerja sama orang lain/perusahaan perkebunan, asalkan beras dan garam masih ada di rumah.

Satu sisi otak saya diputar putar mengingat saya sendiri dengan segala kondisi saya yang notabene lebih dan jauh beruntung dari mereka. Satu sisi melihat bahwa ternyata ga perlu ribet untuk memenuhi kebutuhan hidup ini. Asal ada keluarga, asal ada pemenuhan hidup sederhana ya sudah selesai.
Namun profesi saya menuntut untuk mengembangkan orang lain, untuk membuat setiap orang mencapai potensi maksimal yang ia miliki. Saya merasa ternyata profesi saya pun masih jauh dari kata berhasil. Apalagi kedua tangan saya ini yang pada akhirnya beberapa diantara mereka harus di gugurkan dalam proses seleksi.
Satu lagi otak saya berpikir, apa iya ya, mereka tidak terjamah dengan pendidikan yang sebenar benarnya. Yang ada hanyalah doktrin doktrin untuk menerima keadaan, untuk cepat berpuas diri, menganggap bahwa kebersyukuran hanya sebatas terima apa yang ada tanpa memikirkan ada harapan untuk lebih baik tanpa memilirkan bahwa ketika masih memiliki harapan untuk lebih itupun termasuk salah satu syarat untuk bersyukur?.
Sumpah, kondisi real ini membuat saya pening. Sepening saya memikirkan masalah saya yang terkesan sepele saat saya menulis ataupun mengetik ini.
Rasa bersyukurku belum pada nilai kodratnya.