Senin, 26 September 2016

ENTAHLAH


Sesuai judulnya, ya entahlah…
Saat ini, saya merasa dalam tahap dimana saya ingin belajar lebih objektif. Saya ingin melihat dari berbagai sudut pandang.

Ada kekecewaan dimana saat saya melakukan aktifitas mengajar dalam sebuah perkuliahan. Ini adalah pengalaman ke sekian kalinya dengan fenomena yang mirip. Jika dahulu saya menurunkan level saya sebagai tenaga pendidik sebagai teman belajar, saya selalu menjadi bulan-bulanan. Saya bermaksud untuk meminimkan gap supaya saya bisa transfer ilmu di luar kelas. Namun, yang terjadi adalah banyak yang menganggap untuk menghilangkan batasan (bahwa saya mendekat untuk memberikan ilmu bukan untuk diperalat, digampangin dsbnya) itu.

Akhirnya saya mulai untuk melepas hal di atas. Mencoba kembali percaya pada sebutan ‘mahasiswa’ adalah siswa yang punya status intelek di level maha.
Saya melepas sedikit banyak kedekatan untuk melihat kembali semua yang saya alami, dan akan alami.
Saya sudah beberapa kali meminta sebuah kelompok presentasi untuk berdiskusi (hal yang saya tidak temukan sebagai tenaga pendidik di tempat saya dahulu mengenyam pendidikan). NIAT BAIK, agar  mahasiswa tidak kaku, dapat menguasai bahan. Namun apa daya, untuk mengetahui Kontrak yang disepakati pun cenderung mayoritas banyak tidak mengetahui.
Perspektif saya, melihat kontrak adalah untuk mengatur segala persiapan, mengetahui hak dan kewajiban. Mahasiswa belajar untuk bernegosiasi untuk dirinya sendiri kelak.
Perspektif saya melihat realita, Belum ada yang memperhatikan dengan jelas apa yang ada di kontrak.
Saya heran dengan mudahnya jawaban ‘diam’, mudahnya jawaban ‘tidak tahu’, dan penampilan perilaku ‘acuh tak acuh’.  Padahal saya bahkan sudah mengikuti zaman yang super teknologi saat ini (bila dibandingkan dengan saat saya kuliah dahulu). Kontrak di kirim ke email. Saya terkejut saja.
Apakah teknologi yang katanya bisa membantu manusia malah menguasai pikiran manusia ?
Kembali,
Saya terkejut dengan celotehan “akh bahasa inggris”
Saya akan tetap melakukan perbandingan dengan situasi saat saya kuliah. Situasi dimana bahan materi perkuliahan 80% adalah text book.
Perspektif saya, saya menerapkan kembali agar yang saya didik tahu sebenarnya awal ilmu yang dipelajari adalah ilmu dari luar Negara yang mereka diami.

Perspektif saya melihat realita. SAAT INI, BAHKAN UNTUK MEMILIKI BUKU BAHASA INDONESIA, ATAU MELAKUKAN FOTOCOPI BAHAN TERTENTU PUN SULIT.

Saya terkejut dengan heningnya kelas saat saya memberikan kesempatan untuk bertanya. Hal yang mungkin saya pribadi alami berbeda. Perbandingan dengan saya dahulu adalah,tidak semua dari kami memiliki kesempatan dikarenakan banyaknya jumlah anggota kelas, yaitu sebesar 125 orang dan tidak menutup kemungkinan pertanyaan yang akan di respon adalah pertanyaan orang tertentu. Namun apakah banyak surut untuk bertanya. Jawabannya adalah TIDAK.

Perspektif saya, memberi kesempatan bertanya adalah member HAK pada mahasiswa untuk mengetahui apa yang sedang ia gundah gulana-kan. Memberi penjelasan bahwa perilaku bertanya tidak akan memakan nyawa seseorang, bertanya di kelas tidak akan mengancam status sosial, bertanya di kelas tidak akan mendapatkan predikat bodoh, bertanya di kelas adalah kewajaran.

Perspekti saya melihat realita. Sedih ketika mereka pun bingung dimana mereka bingung sehingga tidak bertanya.

Yang paling aneh menurut saya adalah JIKA MATERI DIBUAT LUCU TANPA TAHU ESSENSI, adalah sesuatu yang menarik minat banyak mahasiswa yang saya ajari saat ini. Bahkan yang saya temukan adalah materi KEKINIAN menjadi bagian penjelasan yang terkesan dipaksakan pada sebuah materi, MENJADI MENARIK bagi mahasiswa yang saya lihat.
Jadi
ENTAHLAH…
TEKNOLOGI DIMANFAATKAN, KETERBUKAAN DIBERIKAN, KESEMPATAN BERTANYA ADA.

TAPI, ENTAHLAH
Lebih menarik update status, sebar story instagram, game online, social chat, dan download film untuk PEMANFAATAN TEKNOLOGI.
Lebih mengagungkan bahasa alay, bahasa tidak standar, dengan rasionaliasi Nasionalis, UNTUK MENGANULIR SEMUA alasan keterbukaan pada bahasa inggris.

Lebih baik mengelak, lebih dianggap punya hak pribadi yang bebas kapanpun tuk bertanya, demi Membuat Hening ruangan tanpa sebuah pertanyaan.

ENTAHLAH
Lagi lagi entahlah.

Sabtu, 03 September 2016

Ini Pesparawi 2016 yang saya tahu



Saat mendengar semua nyanyian
Semua pujian
Semua keindahan
Ini hidup

Ini pesta pujian
Tidak untuk kompetisi
Tidak untuk kesenangan semata
Tidak untuk  keegoisan


Terimakasih untuk pengalaman ini
Best regard
Pasca

Tribute to pesparawi

Kamis, 01 September 2016

Teori, kesendirian, dan saya Psikolog

Usia saya akan mencapai 30.
Selayaknya menurut teori dari ilmu yang saya pelajari di perkuliahan, saya sudah mulai aktualisasi dengan pekerjaan dan mencapai hubungan lebih serius dengan calon pasangan hidup.

Kalau diperhatikan, memang benar banyak pengalaman saya yang mengharuskan saya membutuhkan orang lain.
Namun saya tidak bukan manusia yang ingin menerima mentah mentah teori.
Belum lagi, saya belum mau menerima semua "celotehan married" yang diutarakan oleh rekan kerja, teman sebaya saya, dan bahkan mahasiswa yang saya didik.
Ataupun "saran religi menikah" yang selalu diperdebatkan dengan tidak objektif menurut saya.

Here's the thing

Teori adalah sesuatu yang berlaku umum, kita lupa kalau ada kasus tidak umum
Namun apakah apabila saya dalam kasus tidak umum, jadi memaksakan pandangan saya juga?

Anggap saja ini rasionalisasi (bentuk mekanisme pertahanan diri menurut Signmund freud) , UNTUK DIRI SAYA SENDIRI.

Saya tidak menerima alasan, bahwa memiliki pasangan adalah kebutuhan saat kita sakit, butuh pertolongan saja. (menurut saya ini egois)

Saya belum bisa memberi hidup saya untuk satu orang, saya lebih baik berbuat pada banyak orang. (Meski ini terkesan idealis)

Saya tidak menerima SIKLUS UMUM MANUSIA (lahir, tumbuh belajar, bekerja, menikah, punya anak, membesarkan anak, menikahkan anak, lalu melihat cucu, kemudian menunggu ajal,  dan meninggal)

ini adalah pandangan untuk diri saya sendiri. Bagi pembaca, anda sangat bebas untuk tidak mengikuti pandangan saya.