Selasa, 06 Agustus 2013

Sebuah Kondisi Tradisi

"bagaimana pak sejauh ini?"
ini adalah pertanyaan yang diajukan pada saya hari ini. Saya menjawab "ya.... (disambut rekan lain)... lacar pak, minggu ini ada ujian.


Minggu lalu sampai saat ini, saya diperhadapkan dengan situasi untuk memberikan materi tentang suatu topik mata kuliah. Saya mencoba mengikuti kemampuan mahasiswa yang ada.
dan inilah yang menjadi sedikit pengalaman saya:

1. Pada suatu pertemuan saya dikejutkan oleh betapa peserta didik tidak disampaikan beberapa hal yang menjadi hak untuk mereka ketahui. Kemudian saya berpikir apakah mungkin belum tersampaikan atau pihak sebelumnya mencukupkan sampai batasan tertentu, karena melihat kemampuan peserta yang dididik. Atau mungkin peserta didik yang sudah lupa atau punya motif tidak mau tau.

2. Saat peserta didik secara volunter ataupun ditunjuk memberikan contoh penjelasan, saya juga dikejutkan dengan contoh yang sangat kompleks, yang berujung pada gagalnya menjelaskan konsep sederhana. Saya hanya berpendapat bahwa adanya persepsi "bila mampu memberikan sesuatu yang lebih maka dianggap memiliki suatu keunggulan pribadi dari yang lain". Bagi saya persepsi ini selalu menghantui hampir setiap orang. Ya, persepsi ini baik, bila secara sadar mampu, dan tidak melihat respon orang lain (dalam arti membandingkan). Tapi, Persepsi ini tidak baik bila untuk memuaskan ke-aku-an untuk mendapatkan pengakuan.

3.Saat saya menanyakan ulang contoh yang diberikan peserta yang dididik, selalu terjadi keraguan. Saya hanya berpikir bahwa mungkin perlunya penanaman kepercayaan diri oleh tenaga pendidik. Kondisi ini bisa sedikit disentil, diubah tingkat 'zona aman' ketidak pedeannya, mungkin bagi tenaga pendidik mengembalikan semua arti penuh pada sumber yang menjadi acuan, dan berikan peserta didik untuk mencerna kata-kata yang paham secara real time (saat itu juga). Mungkin, terkait dengan no. 2 seharusnya pemberian contoh terdekat dengan peserta didik sebaiknya dikembangkan dahulu lalu naik ke tahapan pola pikir yang lebih kompleks. Mungkin, dengan memberikan kesempatan pada peserta didik untuk tampil 'show' di depan teman-temannya, dimulai dari berdiri sendiri di depan tempat duduknya, kemudian diajak ke depan, kemudian diyakinkan bahwa "Belajar itu memulai dari pengertian salah untuk mencapai pengertian yang benar"

4.  Saat saya memberikan konsekuensi atau akibat untuk suatu tindakan yang telah dari kesepakatan bersama. Terdapat cerita lama yang menegosiasikan konsekuensi. Kondisi ini memang selalu terjadi. Rasa Kasihan, melunturkan peraturan yang telah disepakati bersama. Bukan berbicara demokrasi, bukan berbicara salah satu asal muasal dari KKN. Saya berbicara tentang integritas versus kasihan. Karena Integritas seharusnya seia sekata dari peraturan, perbuatan atau perilaku, sedangkan kasihan berbicara tentang sebuah kelunakan, toleransi yang jauh berbeda arti dengan KASIH. Pada persepsi saya Kasih mampu mendamaikan tapi ia tetap menghajar ketidakadilan.

5. Saat saya bertanya untuk keperluan peserta didik. Saya bingung mengapa selalu terjadi tradisi di tiap "sekolah" yang pernah saya tanyakan seakan-akan peserta didik dibebankan?

Peserta didik dituntut hanya belajar. ya hanya belajar. Belajar dari materi yang disampaikan, mengkolaborasikan dengan kehidupan yang dijalani ataupun langsung menerapkannya. Peserta didik tidak dapat dibebani dengan pemikiran 'berapa rupiah lagi yang saya akan keluarkan' untuk hal tertentu yang menyangkut saat di luar pendidikan. Mari ambil contoh, setiap peserta didik memiliki ketua yang menjadi penghubung dengan orang yang mengambil peran sebagai pendidik. Peserta yang merangkap sebagai ketua tersebut selayaknya tidak dibebani lagi masalah biaya komunikasi, ketersediaan perlengkapan saat proses belajar terjadi.

dan.. bagaimana tenaga pendidik?
saya hanya berpikir, dari sebuah kalimat yang dari dahulu didengar oleh : "untuk memulai perubahan, mulailah dari diri sendiri". Mungkin ini dapat dilakukan dari metode saat berbagi ilmu pada peserta. Mampu membahasakan ilmu kompleks menjadi sedeerhana, atau mungkin pada bahasa yang bisa dimengerti oleh peserta didik. Mampu meningkatkan motivasi peserta didik, yang mungkin dimulai dari iming-iming dorongan luar, yang kemudian dikonversikan menjadi dorongan dari dalam diri individu peserta didik.

Yaah ini mungkin adalah konsep idealis. Mungkin sebaiknya kita berusaha saja, sebaik mungkin, sebia mungkin sampai bila memungkinkan mencapai yang sempurna. Meski, yang sempurna adalah milik Empunya Hidup.

Kamis, 01 Agustus 2013

Kompetensi dan Potensi itu berbeda?

Sedikit bercerita mengenai pengalaman saya saat diajari atau dilatih kata tepatnya
pada sebuah pelatihan assessment centre dan behavioral event interviewer
Saya diajari konsep utama sebagai dasar sebuah proses "audisi" di sebuah perusahaan. Salah satunya adalah
konsep kompetensi dan potensi. Konsep ini sebenarnya sudah sangat familiar, namun saya mendapat gambaran lebih baik
Bahwasanya Kompetensi merupakan semua kemampuan ataupun perilaku yang dibutuhkan saat melakukan suatu tugas tertentu, dan semuanya harus dapat diobservasi
sedangkan potensi adalah semua talenta, sifat, kepribadian yang memiliki kecenderungan, serta bisa jadi dibutuhkan saat melakukan tugas tertentu

Yang menjadi perbedaan utama ialah Kompetensi berbicara tentang "kemampuan" dan hanya bisa
digali dalam sebuah proses yang dinamakan dengan assessment centre.

Sedangkan potensi berbicara tentang "kecenderungan" tak terlihat dan bisa digali dari review
serta tes-tes psikologi

Secara defenisi, saya memandang bahwa assesment centre merupakan sebuah proses/metode yang terdiri
dari berbagai simulasi untuk menggali kompetensi. Biasanya prosesnya minimal tiga simulasi.
Pada setiap simulasi, satu assessee (sebutan individu yg akan diukur/assess) dipegang oleh seorang assessor
(org yg berhak melakukan pengukuran), dan di simulasi berikutnya assessee yang sama dipegang/diukur oleh
assessor kedua, berikutnya pada simulasi ke tiga assesse yang sama di ukur oleh assessor yang ketiga.
Begitu seterusnya bila terdapat lbh dari 3 simulasi maka assessornya juga disesuaikan
Hal ini dilakukan untuk menghindari subjektifitas, kemudian semua assessor punya data sebagai bukti
dalam hal ini baik berupa rekaman saat simulasi, tulisan, atau apapun, yang kemudian di"brainstorming"
dalam sebuah asmet (assessor meeting)

Sedangkan Potensi, dapat diukur dari tes psikologi. Tes psikologi dalam isu organisasi berbicara tentang bagaimana
individu merespon pada kondisi yang diperhadapkan dengan "seandainya" sehingga muncullah yang disebut
hasil maksimal untuk kondisi tersebut, Bukan sebuah kondisi yang pernah dialami. Dan dalam tanggung jawabnya
psikolog dapat memegang satu atau bahkan lebih dari satu individu yang akan diukur potensinya, mulai
dari awal tes sampai akhir tes, wawancara psikologis dsbnya.

Kedua hal tersebut sangat berbeda, bahkan sangat berbeda dari bentuk penyajian dan pelaporannya.
Sehingga bagi para insan yang melakukan pengukuran, selayaknya tetap berpendirian konsisten.
Yah, mungkin ini semata-mata  pengaruh yang saya alami juga. Saya diajari oleh orang indonesia pertama yang
mendirikan assessment centre di indonesia - lihat assessment centre telkom. Menurut saya, beliau memiliki
kredibilitas tinggi untuk mempertahankan konsep yang berbeda ini.