Senin, 29 Juli 2013

Tentang Kuala Namu Airport dan City Railink Station

Hari ini saya memiliki kegiatan yang tidak terencana. Pergi ke bandara kuala namu. Awalnya untuk menemani orangtua saya sampai pada stasiun kereta api yang menuju bandara (ceritanya, di indonesia, baru hanya di kota medan terdapat kereta yang langsung menuju bandara, yah seperti MRT di singapura, tapi versi lebih sederhana).
    Setelah engecek bahwa tarif kereta untuk tujuan bandara kuala namu sebesar Rp80.000 per person. Ayah saya memutuskan untuk mengetahui rute lain yaitu dengan mengambil taksi tarif bawah (nego/ tidak memakai argo). Karena memikirkan kepraktisan dari depan rumah langsung menuju bandara, tanpa singgah ke stasiun. Ternyata harga yang ditawarkan adalah Rp 150.000,-utk satu kali perjalanan. Setelah saya cek di internet, ternyata pernah dilakukan simulasi dari beberapa spot hotel oleh kementrian perhubungan untuk satu kali keberangkatan menuju bandara kuala namu argo menunjukkan rerata angka 130ribu. tentunya belum termasuk uang tol dr bandar selamat dan biaya masuk bandara.
    Dan inilah sepintas rekaman bandara kuala namu tersebut.



Saat memasuki bagian drop off untuk keberangkatan, dari depan pintu masuk sudah tampak petunjuk untuk wilayah cek in.. (Side B untuk Garuda, Citilink dan Side C untuk Lion air, Mandala, dllnya). Perlu diketahui, bahwa tidak seperti polonia terdahulu, sampai tulisan ini dibuat pengunjung non penumpang diperbolehkan menemani penumpang untuk cek in tapi untuk menuju gerbang keberangkatan hanyalah bagi penumpang.
Sekilas dari desain bandara kuala namu, tampak bahwa bentuk langit-langit dan posisi wilayah cek in sedikit menyerupai yang ada di bandara changi, singapura.

Berikut adalah serial video yang saya buat 3 hari setelah bandara kuala namu di aktifkan
Menuju keluar 1
















Selasa, 09 Juli 2013

Sebuah Penelitian atau sebuah kondisi yang dipersyaratkan.

Tulisan ini, terpikir dari suatu percakapan dengan teman saya dan kemudian diskusi saya dengan orang tua saya (ayah). Suatu ketika teman saya bertanya tentang sebuah jenis data penelitian yang alih-alih selama ini mengharuskan data tersebut diuji secara linier. Pada pertanyaan teman saya (yang sebenarnya adalah pertanyaan mahasiswa yang diminta dosen seniornya diajukan kepadanya), adalah "bagaimana cara menguji sebuah korelasi bila data asumsinya ditemukan data tersebar normal kemudian diuji dengan linieritas, ternyata menghasilkan data tidak linier, sehingga dipastikan tidak dapat dilanjut pada sebuah uji hipotesa.

Selama ini hampir semua ilmu sosial yang saya ketahui menguji sebuah hipotesa korelasi, mensyaratkan asumsi normalitas dan linieritas.Bila tidak normal dapat dilakukan sebuah uji non parametrik, bila tidak linier juga dapat dilakukan dengan menghilangkan data-data yang bersifat mengganggu sebuah linieritas (tidak memanipulasi angka data), hanya saja menghapus data yang dianggap tidak valid sebagai contoh data dari subjek yang mungkin mengisi secara asal-asalan. dan bila banyak cara salah, dapat mengulang dengan memperhatikan alat ukur yang lebih baik.
Sampai suatu diskusi pada orang tua saya yang bertepatan memiliki peran sebagai dosen, mengutarakan suatu pernyataan : "Pada ilmu statistik, semua data berperan penting meskipun tidak memenuhi kaidah yang umum berlaku, sebuah korelasi tidak harus normal, dan juga tidak harus linier, semua dapat diolah". Kemudian ortu saya memperlihatkan sebuah rumusan untuk menjawab pertanyaan teman saya, yaitu dengan memakai persamaan kuadratik serta memakai regresi non linier. Namun bukan hanya sampai disitu. Ortu saya berkata kemudian "itulah yang mungkin jadi kekurangan pada penelitian-penelitian sekarang, sudah mulai memaksa, sehingga pengembangan ilmu itu sendiri berhenti dan tidak berkembang ". Kemudian saya teringat dengan sebuah seminar yang pernah saya hadiri pada sebuah kelas antropologi di UGM.  Pembicaranya adalah dosen setempat yang ingin merampungkan program doktornya berkata :" semua penelitian itu selalu memihak, paling tidak memihak peneliti, terutama kalau ingin lulus".

Setelah memikirkan hal tersebut, saya punya dugaan ataupun sebuah pertanyaan. "Apakah di indonesia saya ini, kualitas mahasiswa yang ternyata layak dinyatakan lulus untuk mendapatkan sebuah gelar, melakukan sebuah penelitian yang berpihak pada penelitinya? bukan data yang mewakili fenomena sebenarnya?". Bagaimana bila hal tersebut memang banyak terjadi, melihat indonesia memiliki banyak sekali bisnis yang mengatasnamakan pendidikan (bukan saya bermaksud tidak ada bisnis pendidikan yang bermutu). Bagaimana bila peneliti yang dalam hal ini adalah mahasiswa yang ingin lulus melakukan sebuah cara cara yang "memaksa" agar data tersebut dapat berjalan mulus untuk diuji, kemudian hasilnya sesuai atau tidak dengan hipotesa, dan kemudian penelitian berhenti sampai disitu (tidak ada perkembangan yang berarti  )atau digunakan sebagai rujukan suatu penelitian berikutnya yang kemudian bisa berdampak semakin beresiko.

Semua hal ini membuat saya mengoreksi diri juga, bahwa dahulu saya pernah juga melakukan sebuah penelitian pada saat semester terakhir sekolah sarjana mengharuskan demi sebuah syarat kelulusan. Bukan untuk bermaksud untuk membenarkan diri, saya meneliti konsep yang mungkin pernah diteliti orang lain, tapi pada setting dan fenomena yang sedikit berbeda. Saya juga mengingat masa-masa menulisnya, mengharuskan saya bertanya pada dosen-dosen dari beberapa ahli yang berbeda seperti bahasa, matematika dan jurusan saya sendiri. Kemudian menghasilkan penelitian yang tidak berakhir pada sebuah kebanggaan yang dapat dikenang, mengingat kesimpulan yang didapatkan memunculkan hal yang berbeda dari hasil penelitian yang memiliki judul yang mirip, tapi belum mengungkapkan sesuatu yang "wah" (walaupun sebenarnya menurut saya perlu penelitian lanjutan tuk buktikan sesuatu yang berbeda tersebut). Yah paling tidak, kesesuaian prosedur dari sebuah layaknya penelitian dapat saya penuhi (sesuai harapan semua dosen pada kompetensi s1 pada waktu itu).

Senin, 01 Juli 2013

Rasionalisasi

saya tidak membahas tentang mekanisme pertahanan diri dari seorang tokoh psikodinamika, saya hanya membahas perilaku manusia selama 2-3 Thun belakangan ini. Semula dari saya menolak menonton banyak acara motivasi, baik dari orang yang dianggap kurang terkenal sampai orang terkenal dan diakui se indonesia. Mengapa? dari dulu saya sudah berusaha mengetahui alasan orang pergi ke motivator, yaitu mendengarkan apa yang ingin didengar. Kemudian seiring waktu para motivator berinovasi untuk membawa para pendengar/penonton kepada tahapan "mendiskusikan realita, menggebrak suasana zona aman sehingga mereka mau tidak mau mendengar/ melihat yang bukan ingin menyenangkan diri mereka semata". Penonton/pendengar mulai melakukan pengasahan diri mereka, mulai mencari-cari core (inti/alasan) mereka membuat suatu perilaku dan berusaha memprediksinya. (sebagaimana dikatakan awal baik hasil pun baik), dan yang paling sering dilakukan untuk mendasarkan perilaku mereka adalah memberikan seuah statemen dari para filsuf terdahulu/ politisi/ budayawan/motivator/ tokoh2 lainnya. Bahkan, mereka menggunakan statemen tersebut untuk "menyerang" pihak lain yang telah bersinggungan dengan wilayah mereka.
Perilaku yang terjadi menurut saya adalah sebuah usaha melindungi diri, sebuah usaha untuk menjadi nyaman (kembali). Sehingga menurut saya terkadang berpikir
"Menggunakan kata-kata bijak untuk merasionalisasi perilaku diri sendiri juga merupakan tindakan egois"